Beberapa bulan sebelum mulai kuliah lagi, saya menyibukkan diri dengan membuat kelompok belajar di rumah yang isinya anak-anak SD, kadang ada juga bocah TK yang nyempil ikut kakaknya. Ini menjadi tantangan baru, biasanya saya hanya belajar dengan siswa SMP dan SMA.
Awalnya, kelompok belajar ini hanya dihadiri 7 orang anak. Lalu datang seorang ibu ke rumah dan menceritakan kesusahannya mendampingi anaknya belajar dan berharap saya bisa membantunya. Dengan semangat menggebu saya meng-iyakan. tak terduga, ibu itu menyampaikan ke Ibu-ibu yang lain. akhirnya, tak kurang 25 orang anak kecil berwajah polos berdesakan di musholla rumah yang luasnya hanya 2×7 meter dan meluber ke teras depan.Amazing!
Pertemuan pertama dengan 30 anak, saya dilanda panik. saat itu kondisi sedang PMS (premenstrual syndrome), emosi sedang labil. jujur,terasa lelah menahan marah dengan kelakuan beberapa anak laki-laki yang suka usil dan enggan menyelesaikan tugas yang diberikan, ditambah lagi beberapa anak yang memang membutuhkan perhatian lebih agar bisa memahami materi, saya bingung membagi perhatian pada anak dengan kelas berbeda, silih berganti mereka berteriak “mbak, aku udaah” atau “mbak, ini apa? aku gak bisa”. Fix, mendidih kepala gue dan endingnya, banyak ngomel.
Beberapa waktu setelah kelas itu berakhir, saya membaca buku “5 Guru Kecilku” karya Kiki Barkiah. Beliau adalah ibu dari 5 orang anak yang memilih homeschooling sebagai metode pendidikan anak-anaknya. Sosok inspiratif yang menyuguhkan kisah-kisah yang mengandung banyak pelajaran yang perlu diketahui oleh orang tua. Secata tidak langsung, beliau menjelaskan bahwa dalam mendidik 3 aspek yaitu intelektual,emosional dan spiritual harus ada dalam pengasuhan. Beliau menjelaskan dengan bahasa yang membumi dan tidak teoritis. Akhirnya, saya merenungi kembali tentang niat dan metode yang digunakan dan bertekad pertemuan selanjutnya harus lebih sabar dan sistematis.
Alhamdulillah, sekian waktu bersama anak-anak saya mulai menikmati suasana riuh mereka. Terbiasa dengan suara anak-anak kelas satu membaca buku dengan suara lantang. Juga terbiasa menerima gangguan anak laki-laki yang sering cari perhatian, bahkan terbiasa melihat mereka bertengkar memperebutkan hal kecil. Semuanya begitu menyenangkan. Rasa-rasanya diri telah menemukan passion. Yup, saya suka mengajar.
Mengumpulkan anak dari berbagai macam kelas dalam satu forum belajar menguras emosi dan tenaga. Masalah terbesar yang dihadapi ketika belajar dengan anak usia SD adalah pertengkaran khas mereka. contohnya, ketika anak kelas 2 SD mengerjakan soal dan kesusahan, kelas diatasnya akan berkomentar,
“Kan itu gampaang, masak gak bisa” dengan nada meremehkan.
“iya iya kamu pinter” adiknya menjawab pake nyolot.
*perang pun dimulai
akan sering juga mendengar seruan semacam ini,
“mbaak, Roy nih mbak. ganggu terus, gak ngerjakan soalnya”
“mbaak, sisy makan oreo pas belajaar”
“mbak, main sepeda aja yuk”
“mbak, aku ga mau nulis, capek”
ditambah lagi, beberapa anak yang suka meramaikan kelas dengan gangguan mereka. Jika setiap anak hampir reaktif seperti itu, bisa membayangkan seperti apa kelas saya?
Ketika terjadi pertengkaran kecil amat baik bagi mereka untuk belajar mengenai manajemen konflik, saat itu tuntutlah mereka menyelesaikan sendiri dan jelaskan agar tidak mengadukan hal-hal kecil. kalau sudah parah maka akan ada sesi nasihat semacam ini,
“dik, suka gak dipukul?” dengan nada tegas
“enggak”
“nah, kalau gak suka, jangan lakukan ke temannya. menyakiti orang lain itu dosa. Allah benci”
Biasanya mereka akan segera saling meminta maaf dan kembali bermain bersama (cewek sih ada jeda ngambeknya dulu, lol). Enaknya ngajar anak SD, mereka mudah sekali menerima nasihat, biidznillah.
Setiap anak memiliki gaya belajar berbeda-beda. Saya menaruh perhatian lebih pada beberapa anak dan menyibukkan dengan tugas atau bacaan ke anak yang lainnya supaya adil.Sebelum belajar biasanya ada penjelasan kepada semua anak apa saja yang akan kami pelajari lalu membagi duduk berdasarkan kelas, untuk memudahkan membagi perhatian. misalnya hari itu kami akan belajar matematika tentang bangun datar, sesi awal yaitu penjelasan secata ringkas atau bercerita tentang materi itu kepada semua anak. lalu mulai dibagi materi khusus,
kelas satu, mengelompokkan bangun berdasarkan warna, ukuran, dan menyebutkan benda – benda disekitarnya yang berbentuk lingkarang misalnya.
kelas dua, menghitung sisi dan sudut dari bangun datar tertentu, dan menggambar benda-benda disekitarnya yang mempunyai 4 sudut.
kelas tiga, mulai belajar mengenai besar sudut, macam-macamnya dan mengelompokkan benda yang punya sudut (lancip,tumpul,siku-siku) dan menghitung luas dan keliling bangun. contohnya bisa diaplikasikan ke ruangan atau disekitarnya.
kelas empat, belajar mengenai pencerminan dan simetris dan menyebutkan benda-benda yang simetris. di materi pencerminan saya mengeluarkan cermin dari kamar ibu supaya mereka paham maksudnya ><
kelas lima & enam, menghitung luas, keliling atau volume benda yang saya berikan.
dengan tema bahasan yang sama, kelas akan lebih kondusif dan membuat perhatian saya fokus.Tiap kelas dibedakan dengan menambah tingkat kesulitan materi dan soal. jika ada kesusahan mereka bisa bertanya dan berdiskusi. kadang anak kelas 5 dan 6 juga membantu mengajar.
Yang saya amati dampak positif dari kelas multigrade ini adalah membuat mereka belajar saling menghargai, yang besar mengayomi dan yang kecil belajar menghormati yang lebih besar. mereka juga belajar terbiasa dengan materi yang lebih rumit dari pelajaran mereka dengan melihat kakak-kakaknya belajar. mereka juga belajar konsentrasi karena harus berbagi guru dan menghadapi keributan anak kelas satu dan dua membaca keras-keras soal mereka.
di akhir sesi, akan ada review materi pekan sebelumnya dalam bentuk pertanyaan. yang bisa, boleh pulang duluan. Sering menemukan wajah kecewa anak-anak yang pulang terakhir karena tidak bisa menjawab soal. Ini menjadi tantangan untuk membesarkan hati dan membuat mereka lebih semangat belajar.
By the way, sebulan sekali ada kegiatan tambahan seperti, crafting, berkebun, membaca buku, atau setoran hafalan.
Motivasi terbesar saya adalah berbagi. Melihat mereka bersemangat dan mengamalkan apa yang diajarkan adalah kebahagiaan tersendiri. Benar kiranya, menjadi guru adalah pekerjaan yang amat mulia. Apalagi disertai dengan keikhlasan, hingga bisa mengantarkan pada surga Allah.
Semangat berbagi kebaikan pada sekitar!
Semoga Allah membalas kebaikan guru-guru kita 🙂
Candra A.S Prahastiwi