Seperti gambar di atas, aku mencoba menyuguhkan sisi terbaik dari bagian bunga ini kepadamu. Ada banyak yang bisa disorot, namun sisi ini paling layak menurutku. Dan kuputuskan untuk mengunggahnya.
Begitulah aturan tak tertulis yang berlaku di sosial media, bukan? Hanya menampakkan yang layak saja.
Siapa pula orang yang hendak dengan sengaja mengunggah foto selfi ketika mukanya kusut, bibir dan hidungnya bengkak setelah bangun tidur? Meski ada, aku yakin ia tetap memilih foto paling layak untuk diunggah.
Atau orang macam apa yang mau membagikan sudut paling berantakan dari rumahnya ke khalayak ramai tanpa niat terselubung ingin menampakkan poin tertentu? Tetap, ia akan memilih bagian paling layak untuk ditampakkan.
Mungkin agak menyakitkan diungkapkan, nyatanya tak hanya gambar. Kehidupan yang kita tampakkan di dunia maya ini juga demikian. Keluarga menampakkan hal yang baik saja, penuntut ilmu membagikan sisi baiknya saja, pendidik membagikan bagian paling inspiratif saja, dan banyak lagi.
Aku merasa khawatir pada diriku sendiri mendapati fenomena ini. Saat ini, sangat mudah rasanya membingkai kehidupan untuk dikagumi orang lain. Meski tak diniatkan begitu, akhirnya ego menjadi pemenang. Membuat diri tersenyum picik karena perasaan membubung tinggi sebab pujian. Kasihan. Kasihan sekali.
Membagikan hal yang baik-baik saja bagus sebenarnya. Yg menjadi masalah ketika niat mulai bergeser. Mengunggah agar dikata rajin, cerdas, ulet, shalihah. Nyatanya berkebalikan. Semua itu dilakukan hanya ingin pujian.
Kemarin membaca artikel mengenai fisikawan belia yang digadang-gadang menjadi penerus Einstein. Ia tak memiliki satupun akun sosial media, bahkan LinkedIn. Tahu apa jawabannya ketika ditanya alasan mengapa demikian? Ia menjawab:
“Saya lebih suka tetap waspada, dan semoga saya dikenal karena apa yang saya lakukan, bukan apa yang tidak saya lakukan. Saya punya banyak hal yang harus dipelajari. Saya tidak pantas mendapatkan pujian.” ujarnya.
Mataku terfokus pada kalimat ‘bukan apa yang tidak saya lakukan’ Ah iya, itu poinnya, jujur.
Tampakkan sesuatu yang memang benar-benar ada pada dirimu. Tidak perlu memaksakan kehendak. Hindari penyebab riya’, terus berdoa dan hidup dengan tenang.
Candra A.S Prahastiwi