Jangan Lupa Baca Isti’adzah ya..

Isti’adzah

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

Allah ta’ala mensyariatkan kepada setiap orang yang membaca Al-Qur’an Al-Azhim, hendaknya memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sebagaimana firmanNya, yang artinya:

“Apabila kamu hendak membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”(An-Nahl: 98)

Karena Al-Qur’an merupakan hidayah dan obat bagi hati manusia sedangkan setan adalah sebab rusak dan menyimpangnya hati. Maka Allah memerintahkan pembaca Al-Qur’an untuk memohon pembentengan diri dari godaan setan, waswas dan semisalnya.
Ulama’ telah bersepakat bahwa isti’adzah tidak termasuk dalam Al-Qur’an Al-Kariim, karena itu isti’adzah tidak tertulis di dalam mushaf.
Maknanya adalah:

Lanjutkan membaca “Jangan Lupa Baca Isti’adzah ya..”

#UASVaganza – Nahwu 

Dua pekan ini amat panjang rasanya. Kayaknya ini pertama kali aku ujian 14 hari berturut-turut deh. 💪

Tadi pagi Alhamdulillah ujian nahwu berjalan lancar. Di semester ini kami belajar bab manshubat dan mahfudhotul asma’. Kitab yang digunakan adalah At-Thaudhihatul Jaliyyah fii Syarhi Al-Ajurumiyyah karya syaikh Muhammad Al-Hasyimi rahimahullahu.

Kali ini materi ujian yang dibahas adalah isim لا ( laa an-nafiyatu liljinsi).

Di kitab Mulakhos Qawaidul Lughatil Arabiyah pembahasan ini masuk pada bab isim inna. Silakan sambil dibuka kitabnya kita murojaah bersama.
Di matan yang ditulis oleh Al-Imam Ibnu Ajurum, beliau rahimahullahu menyampaikan,

 “Ketahuilah bahwa لا menashabkan isim nakirah tanpa tanwin apabila setelah لا langsung isim nakirah (tidak ada pemisah), dan tidak ada pengulangan لا. Contohnya: لا رجلَ في الدار”

Syaikh Al-Hasyimi dalam syarahnya menjelaskan:

La an-nafiyatu liljinsi mempunyai pengamalan seperti “ إنّ “ Yaitu menashobkan isimnya serta merofa’kan khobarnya.
Apabila bentuknya mufrod (tidak mudhaf dan syabih bilmudhaf) maka i’rabnya mabni sesuai tanda i’rab nashabnya. Jika tanda nashabnya fathah maka mabni atas fathah,

لا رجلَ في الدار

Maka i’rabnya:

رجلَ: اسم لا مبني على الفتح في محل نصب
Adapun syarat-syarat pengamalannya yaitu :

  •  Isimnya harus nakirah
  • Tidak ada pemisah antara laa dan isimnya
  • Khabarnya juga harus nakirah
  • Tidak ada pengulangan laa

Disebutkan di atas tadi i’rabnya mabni jika bentuk mufrod. Nah, jika bentuknya mudhaf dan syabih bilmudhaf (sesuatu yang bersambung untuk menyempurnakan makna) maka i’rabnya adalah nashab.

Contoh bentuk mudhaf:

لا رفيقَ سفرٍ حاضرٌ

I’rabnya:

رفيقَ: اسم لا, منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره
Contoh bentuk syabih bilmudhaf:

لا مجتهدًا في درسِهِ ضائعٌ

I’rabnya:

مجتهدًا: اسم لا, منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخر

Ibnu Ajurum rahimahullah, melanjutkan matannya,

“jika ada pemisah antara laa dan isimnya maka harus rafa’ dan harus mengulang laa, contohnya:

لا في الدار رجلٌ و لا امرأةٌ

untuk mengulangan laa boleh dilakukan dan boleh juga dihilangkan. Tapi boleh jika engkau mengatakan:

“لا في الدار رجلَ و لا امرأةَ

Selanjutnya kita akan membahas, bagaimana jika salah satu dari keempat syarat itu tidak terpenuhi?

▪ Apabila setelah laa dan isimnya ada penghalang maka hukum isim laa harus rafa’ karena kedudukannya adalah mubtada’ muakhkhor. Karena ada jar wa majrur sebagai khabar muqaddam. Dan harus mengulang laa. Contoh:

لا في الدار رجلٌ و لا امرأةٌ

▪ Apabila setelah laa isim ma’rifah maka pada kondisi ini huruf laa tidak memiliki kedudukan dalam i’rab dan tidak melakukan amalan inna. Maka harus rafa’ dan mengulang laa. Contohnya:

لا محمدٌ في الدار و لا بكرٌ

Semoga bermanfaat.
Candra A.S Prahastiwi

Ambulu, 4 Januari 2018

#UASVaganza – Mushthalahul Hadits

Berusaha konsisten sharing materi ujian, meski udah ada 4 matkul yang skip 😄. Kali ini aku bahas materi ujian tadi pagi, yakni mushthalahul hadits. Ada 2 muqarrar yang kami gunakan tapi yang paling sering adalah kitab Taisir Mushthalahul Hadits, karya DR.Mahmud At-Thahhan rahimahullahu.

Yang belum tahu, di mushthalahul hadits kita belajar mengenai keadaan-keadaan rawi (orang yang meriwayatkan) dan apa yang diriwayatkannya dari sisi diterima atau ditolak.

Untuk hadits yang maqbul (diterima) dilihat dari sisi boleh diamalkan atau tidak, di antara macamnya adalah hadits muhkam dan hadits mukhtalif.

Hadits muhkam adalah hadits maqbul yang selamat dari pertentangan yang semisal.

Sedangkan hadits mukhtalif kebalikannya, yaitu hadits maqbul yang bertentangan dengan hadits lain yang semisal, namun memiliki peluang untuk dijama’ (dikompromikan) di antara keduanya.

 

Oke, karena menarik kita konsentrasi ke hadits mukhtalif saja. Contohnya :

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ

” Tidak ada penyakit menular dan thiyarah (merasa sial dengan burung dan sejenisnya).”

Bertentangan dengan hadits,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.”

Dua hadits ini sama-sama shahih. Secara dhahir memang tampak bertentangan. Hadits pertama meniadakan penyakit menular, sementara hadits kedua menetapkan adanya penularan. Namun para ulama kemudian menjama’ kedua hadits tersebut dan menyepakati makna di antara keduanya.

Singkatnya, maksud dari hadits pertama yang meniadakan penyakit menular adalah penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya, tetapi menular dengan kehendak dan takdir Allah. Jadi dugaan orang bahwa hal itu disebabkan karena adanya interaksi dengan si sakit, kemudian meyakini benarnya penularan, maka terjatuhlah ia ke dalam dosa. Sedangkan hadits kedua yg memerintahkan untuk menjauhi orang yang sakit kusta maksudnya sebagai tindakan preventif (sadd adz-dzara’i).

Lalu apa yang harus dilakukan jika terdapat dua hadits maqbul yang saling bertentangan?

Langkah-langkah yg harus ditempuh adalah :

🌱 Jika keduanya memungkinkan untuk dikompromikan,maka tetapkan dan beramal dengannya.

🌱 Apabila keduanya tidak mungkin dikompromikan dengan berbagai alasan, maka:

  1. Jika diketahui salah satu di antara kedua hadits itu merupakan nasikh, maka hadits nasikh lebih didahulukan dan diamalkan. Sedangkan hadits yang mansukh kita tinggalkan.
  2. Jika kita tidak mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, maka kita harus mentarjih salah satu di antara kedua hadits tersebut dengan memperhatikan berbagai (prinsip) tarjih yang mencakup lima puluh jenis atau lebih. Kemudian kita mengamalkan hadits yang terkuat.
  3. Jika kedua hadits itu tidak bisa dicari yang lebih kuat, maka tunda dulu untuk mengamalkan kedua hadits tersebut, hingga jelas bagi kita mana hadits yang rajih.

Semoga Allah mudahkan kita memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan ilmu.

 

Candra A.S Prahastiwi

Ambulu, 1 Januari 2018

 

 


#UASVaganza – Tauhid 

Akhirnya tiba juga giliran ujian madah paling penting yakni tauhid. Kami menggunakan muqarrar kitab Al-Mulakhkhash fii Syarhi Kitaab At-Tauhid karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah. Kita sudah tidak asing dengan Matan kitab ini yang ditulis oleh Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad At-Tamimi rahimahullahu yang menjadi rujukan bagi semua kalangan yang ingin mempelajari akidah dan tauhid.

Yang kusuka dari kitab syarah ini adalah susunannya yang dibuat poin perpoin sehingga memudahkan bagi kita yang baru mulai belajar dan bahasanya relatif ringan.

Materi ujian yang saya kutip kali ini adalah hadits dari bab 33, yang sangat berkesan dan membangkitkan semangatku ketika berada dikondisi terbawah. Haditsnya berbunyi, 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, berputus asa dari pertolongan Allah, dan merasa aman dari makar (azab) Allah”.

Dan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Dosa besar yg paling besar adalah: Syirik kepada Allah, merasa aman dr azab Allah, berputus asa dari rahmat Allah, dan berputus asa dari pertolongan Allah.” Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq.

Dari hadits tersebut kita bisa mengambil faidah:

1. Diharamkan merasa aman dari makar (azab) Allah dan berputus asa dari rahmatNya, karena keduanya termasuk dalam dosa besar yang paling besar. Sebagaimana dilakukan orang murji’ah (bermudah-mudah dalam beragama sehingga merasa aman dr azab Allah) dan khawarij (keras dlm beragama sehingga mudah berputus asa pada rahmatNya).

2. Syirik adalah dosa paling besar di antara dosa-dosa besar.

3. Wajib bagi seorang hamba selalu merasa khauf (takut) dan raja’ (berharap) kepada Allah, yang ketakutannya tidak membuatnya berputus asa, serta pengharapannya tidak membuatnya bermudah-mudah merasa aman dari azab Allah.

Hadits ini amat menusuk tiap kali kumerasa sempit dan mulai berprasangka buruk pada takdir. Kerap rasa bersalah, merasa diri penuh dosa membuatku sedih berkepanjangan hingga lupa pada rahmat dan pertolongan Allah. Atau lain waktu aku dengan santai berbuat dosa karena merasa aman dari azab Allah dan merasa akan diampuni.

Ini menjadi pukulan telak. Nasihat menusuk bagiku agar selalu mengingat bahwa seberat apapun beban yang ditanggung, sesakit apapun luka tersayat, jangan pernah berpikir untuk berputus asa. Allah maha memberi dan mengampuni. Pun selapang apapun urusan kita, dan sekecil apapun dosa yang dilakukan jangan pernah merasa aman dari azab Allah.


Semoga Allah memberi hidayah kepada kita sekalian untuk selalu berada di jalan ketaatan.




Candra A.S Prahastiwi

Ambulu, 26 Desember 2017

#UASVaganza – Adab Thalibil ‘Ilmi

Sesuai rencana, hari ini sharing sedikit materi ujian adab untuk esok hari insyaAllah. Kami menggunakan muqarrar mukhtashar hilyah thalibil ‘ilmi, ringkasan yang disusun oleh DR.Muhammad bin Fahd Al-Wad’an rahimahullahu dari matan yang ditulis oleh syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullahu. Tapi yang kupakai ini syarah dari syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin rahimahullahu.

Kitab ini terbagi ke beberapa bab. Yang tertera pada gambar dibawah merupakan kutipan dari bab kedua yaitu tata cara menuntut dan mengambil ilmu.

Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam menuntut setiap cabang ilmu:

1. Menghafal mukhtashar (ringkasan) dari setiap cabang ilmu yang dipelajari.

2. Mempelajarinya di hadapan guru yang mutqin.

3. Tidak menyibukkan diri dengan kitab muthawwalah (panjang dan tebal) dan kitab yang bermacam-macam sebelum kuat pondasi keilmuannya.

4. Jangan berpindah dari kitab mukhtashar ke kitab yang lain tanpa alasan. Ini termasuk penghalang.

5. Mencatat faidah-faidah ilmiah.

6. Mengumpulkan semangat menuntut ilmu dan mempelajarinya. Serta memberi perhatian lebih agar memperoleh pencapaian yang lebih tinggi hingga nantinya bisa mempelajari kitab muthawwalah dengan cara yang benar.

Pada halaman selanjutnya disebutkan nama-nama kitab ringkas sampai kitab-kitab besar yang menjadi dasar dalam menuntut ilmu dan sangat disarankan belajar pada para guru yang kompeten. Biasanya kitab yang digunakan berbeda satu daerah/negara dengan negara yang lain. Disesuaikan dengan mazhab setempat serta berdasarkan pengalaman belajar para ulama di daerah tersebut. Para ulama di Kerajaan Saudi Arabia-KSA melewati tiga tingkatan dalam belajar, yaitu: mubtadi’in (pemula), kemudian mutawassith (pertengahan), lalu mutamakkin (pemantapan).

Adapun kitab yang digunakan, yaitu:

Dalam cabang ilmu tauhid: Tsaalatsatul Ushul wa Adillatuha (tiga landasan beserta dalil-dalilnya), Qawa`idul Arba’ (empat kaidah), dilanjut dengan Kasyfu Syubuhat (menyingkap syubhat), lalu Kitabut Tauhid.

Dalam pelajaran tauhid asma dan sifat: Aqidah Wasithiyah, kemudian Al-Hamawiyah dan Tadmuriyah, lalu Thahawiyah dengan syarahnya.

Dalam pelajaran nahwu, yaitu: Al-AJurumiyah, kemudian Mulhatul I`rab karya Al-Hariri, dilanjut dengan Qathrun Nada` karya Ibnu Hisyam dan Alfiyah Ibnu Malik bersama syarahnya karya Ibnu Aqil.

Dalam bidang hadits: Arba`in An-Nawawiyah, kemudian Umdatul Ahkam karya Al-Maqdisi, lalu Bulughul Maram karya Ibnu Hajar dan Al-Muntaqa karya Al-Majd Ibnu Taimiyah.

Dalam bidang Mushthalah: Nukhbatul Fikr karya Ibnu Hajar kemudian Alfiyah Al-Iraqi.

Dalam bidang fiqih misalnya: Adabul Masyyi Ila Shalah, kemudian Zadul Mustaqna` karya Al-Hajawi, atau ‘Umdatul Fiqh, lalu al-Muqni` untuk mempelajari perbedaan dalam mazhab, dan Al-Mughni untuk mempelajari perbedaan yang lebih tinggi.

Dalam Ushul Fiqh: Al-Waraqat karya Al-Juwaini, kemudian Raudhatun Nadhir karya Ibnu Qudamah.

Dalam ilmu faraidh: ar-Rahbiyah,dengan syarahnya, dan Al-Fawaid Al-Jaliyyah.

Dalam tafsir: Tafsir Ibnu Katsir.

Dalam ushul tafsir: Al-Muqaddimah karya Ibnu Taimiyah.

Dalam bidang sirah: Mukhtashar Sirah Nabawiyah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang berasal dari karya Ibnu Hisyam, dan Zadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.

Dalam bidang lisanul arab (bahasa arab): banyak mempelajari syair-syairnya seperti Mu`allaqat sab`, membaca Kamus Al-Muhith karya Fairuzabadi. Rahmatullahi ‘alaihim jami`an.

***

Pembahasan di atas penting sekali menurutku, sering kita terburu-buru ingin tahu banyak hal sehingga berpindah-pindah majelis ilmu dan membaca buku-buku dengan pembahasan berat yang sebenarnya belum layak kita pelajari sebab dangkalnya pemahaman ushul kita. Akhirnya ilmu yang kita dapat tidak mendalam dan menyeluruh. Hanya menjadi wawasan tanpa pemahaman yang berarti.
Ustadz kami hafizhahullahu sering menasihati di kelas,

من حرم الأصول حرم الوصول

“Barangsiapa tidak bisa memahami ilmu ushul (ilmu alat), tidak bisa baginya menguasai cabang-cabangnya.”

Yuk mulai belajar kitab secara runut! 😉

Candra A.S Prahastiwi
Ambulu, 25 Desember 2017