Terbuai

Apa yang diri lihat dari orang lain hanyalah apa yang ia tampakkan. Kemudahan yang didapatkannya bisa jadi ternyata diiringi oleh kesulitan bersamanya.
Misalnya, ketika melihat seseorang penuntut ilmu berbagi pengalaman belajarnya, semangat diri akan meletup, tampaknya menyenangkan. Di lain sisi, kenyataan bahwa ia telah menghabiskan banyak tenaga, waktu dan materi malah terabaikan. Hasilnya sebagian dari kita, ketika terjun langsung, semangat malah mengendur sebab tak siap dengan konsekuensinya.

Atau Lanjutkan membaca “Terbuai”

Aku Ingin… 

Aku ingin hidup dengan ritme yang pelan saja.


Bangun sebelum matahari tampak. Bersimpuh dengan syahdu. Lalu menjalankan bebanku dengan sepenuh hati, tidak terburu-buru.
Jika pagi berangin, aku akan menutup jendela, dan mendengarkan gemuruhnya. Tidak ada keluhan apalagi umpatan.

Jika pagi hujan rintik-rintik beradu dengan matahari yang tampak malu-malu di ufuk timur, aku akan membuka jendela agak lebar. Menghirup dalam-dalam aroma basah hujan menyentuh tanah. Sembari menyiapkan kebutuhanmu dan mereka.

Jika hujan deras, aku akan mengingatkanmu untuk banyak-banyak berdoa. Dan bersyukur atas berkah yang Rabb semesta berikan.
Lalu menjalani hari dengan tenang. Berjalan pelan. Tak meninggikan suara satu nadapun. Tumbuh dengan tenang dan tentram. Berkembang dalam kesenyapan. Keindahan yang tak diumbar. Senyum menebar membuat hati menjadi nyaman. Hidup dibalut ketaatan.
Jika malam tiba, lampu-lampu dimatikan. Bersyukur atas hari-hari melelahkan yang telah berlalu. Mengambil pelajaran darinya. Lalu istirahat secukupnya saja.
Itu inginku. Jika kenyataannya berbeda, tak mengapa. Namanya ingin memang tak harus segera terwujud. Tidak hari ini, mungkin besok, lusa, setahun, sewindu, berpuluh tahun lagi, bahkan meski tidak terlaksana semua pun sungguh tidak mengapa.
Yang penting, aku ingin hidup dengan ritme yang pelan saja.

Definisi Nikmat

Untuk kita yang masih mengira bahwa nikmat itu terletak pada kemegahan tempat tinggal, harta yang melimpah, hidangan yang lezat, dan kendaraan yang mewah.
Coba kita renungkan.

Jika demikian, lalu bagaimana Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam merasakan nikmat jika perut beliau diikat dan diganjal dengan batu sebab panasnya rasa lapar yang beliau rasakan?

Atau bagaimana nikmat bisa dirasakan sedang bekas tikar tercetak di tubuh beliau menandakan betapa tidak nyamannya alas tidur yang beliau gunakan?

Lagi, bagaimana nikmat itu beliau rasakan jika rumah beliau hanya setinggi orang berdiri, dibangun dari batu bata tanah liat?

Terang di sini bahwa Sang teladan, manusia terbaik tidak memiliki nikmat yang kita kira.
Maka, di manakah nikmat itu sebenarnya?
Allah ta’ala berfirman :

{وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي} [المائدة : 3]

Yang artinya: “… Dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku…”

Mengutip faidah dari kitab Tafsir Al Muyassar, maksud ayat tersebut yakni,

nikmat adalah dikeluarkannya manusia dari kegelapan kehidupan jahiliyyah menuju cahaya keimanan.
Cukup.

Itulah nikmat.
Sekarang, mari kita banyak-banyak bersyukur atas nikmat islam, nikmat iman yang kita miliki.

Tidak mengada-ada jika kukatakan bahwa kita ternyata lebih berlimpah nikmat dibanding orang terkaya di dunia.

Betapa bahagianya. Alhamdulillah..

Manusia Butuh Sabar

RENUNGAN.

Dalam Al Qur’an disebutkan mengenai tabiat manusia, yaitu:

{خُلِقَ الْإِنسَانُ مِنْ عَجَلٍ ۚ } [الأنبياء : 37]

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa.”

Manusia.. 

Jika kebaikan tidak kunjung datang kepadanya, kesabarannya menjadi hilang, dada terasa sesak, lalu lupa bahwa segala sesuatu ada batas dan ketentuan. Padahal jelas, bahwa Allah tidak akan menyegerakan suatu perkara hanya karena ketergesaan makhluk-Nya.
Manusia..

Harusnya ia ingat, bahwa setiap buah memiliki waktu matang. Kala itulah buah pantas untuk dipetik. Sikap tergesa-gesa sama sekali tidak menjadikannya lekas matang, bahkan bisa jadi ia akan menghancurkannya.
Maka sungguh, manusia amat membutuhkan kesabaran di segala sisi hidupnya. Saat tertimpa musibah, sabar dibutuhkan agar tidak berputus asa. Pun saat terlimpah nikmat, sabar dibutuhkan agar seseorang tidak tenggelam di dalamnya.
Disamping itu, tidak tahukah bahwa segenap akhlak islami tercakup sabar di dalamnya?
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali menuliskan :

“Ketahuilah, wahai hamba yang bersabar lagi mencari keridhaan Allah. Sesungguhnya akhlak iman termasuk ke dalam sabar. Walau dengan nama yang berbeda.
Iffah (menjaga kehormatan), adalah sabar menahan syahwat perut dan kemaluan.
Syaja’ah (keberanian), adalah sabar di medan tempur.
Al Hilm (bersikap santun), adalah sabar menghadapi sikap membalas ketika marah.
Lapang dada, adalah sabar dalam menghadapi rasa kesal.
Qana’ah, adalah sabar dengan merasa cukup atas apa yg tidak ia miliki.
Kitman, adalah sabar dalam menyembunyikan suatu urusan.
Menahan jiwa, adalah sabar untuk meninggalkan segala dorongan syahwat.
Zuhud, adalah sabar dengan meninggalkan kelebihan dalam hidup.
Demikianlah, kita bisa melihat bahwa pohon akhlak islami itu diiringi oleh kesabaran. Oleh sebab itu, Rasulullah ketika ditanya tentang iman, beliau menjawab, ‘toleransi dan kesabaran.'” .
Iya, kita senantiasa butuh sabar.