Sebenarnya hampir tidak percaya bahwa aku tipe orang yang perfeksionis melihat keseharianku yang diliputi dengan ketidakteraturan, sesuka hati. Tapi setelah merasakan momen terluka yang amat menyiksa ketika tidak melakukan hal sesuai dengan espektasi, aku mulai menerima kenyataan.
Yang kurasakan, salah satu kelemahan orang perfeksionis itu ‘mutungan‘, berhenti di tengah jalan jika dirasa tidak akan bisa sempurna. Dan hal ini menyiksa.
Teringat dulu ketika SD dibelikan majalah dan berhadiah kalender robot, senang sekali rasanya. Tapi qadarullah salah menggunting polanya. Bukannya diperbaiki dengan selotip, aku memilih tidak melanjutkannya. Sampai beberapa waktu lalu, sebenarnya masih kesal jika mengingat kejadian itu.
Sekarang sisi perfeksionis ini sudah jauh berkurang. Contoh remehnya, Aku bahkan merasa nyaman tidak memperbaiki typo ketika mengirim pesan 😂. Itu karena perantara suatu hal.
Jadi, suatu ketika aku melihat unggahan aktivitas anak mbak Athirah,
sebelum membaca captionnya aku merasa sisi perfeksionisku sedang dilukai. Serius rasanya tidak nyaman, mengganjal. Dalam hati sudah bergumam, “kalau aku yang ngerjain langsung kurobek sekalian terus bikin ulang.”
Eh tapi dibawahnya ada penjelasan yang membuatku tercerahkan. Mbak Athirah menuliskan, “Selesaikan nak, jangan menyerah, kita perbaiki dengan selotip”. Sisi logisku mengiyakan. Aku benar-benar setuju dengan kalimat, “jika yang dituju baik, perbaiki keadaan meski tak lagi sempurna.”
Sepertinya Allah sedang memberi pelajaran padaku. Di hari yang sama aku membaca sebuah ayat,
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu”(QS. Muhammad: 33)
Di ayat itu Allah melarang kita membatalkan amalan, diantara maknanya adalah fisik amalan yang kita lakukan. Bahkan ketika shalat, jika merasa ada yang terlupa, misal lupa baca tasyahud awwal. Kita tidak boleh membatalkannya. Syariat telah mengatur, kekurangan itu bisa diperbaiki yaitu dengan sujud sahwi. Nah, kalau ingin shalat kita lebih sempurna lagi, bisa ditambah dengan shalat rawatib sebelum dan atau sesudahnya untuk menambal kekurangan shalat wajib. Garis bawahi, ternyata hampir selalu ada solusi selain membatalkannya, lalu memulai lagi dari awal hanya sekedar mengejar kesempurnaan.
Meski memang ada pengecualian dibeberapa keadaan bolehnya ‘mutung‘ membatalkan amalan. Tapi alasan hanya untuk memuaskan sisi perfeksionis tidak akan pernah diterima.
Ini menjadi pelajaran berharga. Aku bisa merasakan kesempurnaan islam bahkan dibagian paling sudut terpencil sekalipun. Allah membuat syariat yang mudah. Cocok dengan semua tipe manusia tanpa terkecuali. Semakin kita mengenal Allah, Rasulullah dan agama islam beserta dalil-dalilnya, kita akan semakin tenang, bisa berdamai dengan kekurangan dan carut marut kehidupan. Maka seharusnya orang-orang yang beragama islam adalah orang-orang yang paling bahagia, paling tentram dan legowo hidupnya. Bagaimana tidak,
Allah telah berfirman :
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS.Ar Ra’d : 28)
.
Pointnya, hidup berlandaskan agama islam itu menenangkan. Dalam islam, kita dibentuk untuk memiliki karakter yang kuat dan lembut. Bagaimanapun buruknya kita, selalu ada solusi untuk memperbaiki.
Mari berdamai dengan keadaan sembari meningkatkan keimanan kita.
Candra A.S Prahastiwi