Perjalanan Pribadi

Paul Theroux — “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku.”

Saat emosi naik, kalimat itu tiba-tiba berkelebat di kepala. Menyadarkan bahwa betapa pun lekatnya hati dengan pasangan dalam pernikahan, kita masihlah pribadi yang punya beban mandiri untuk menjalankan syariat Allah. Jadi meski pasangan melakukan hal yang tidak sesuai harapan misalnya, kita masihlah istri yang berstatus sebagai seorang hamba. Punya tanggung jawab serta kewajiban menjalankan perintah-Nya. Salah satunya adalah taat serta memenuhi hak suami. Ini idealnya.

Nyatanya dalam perjalanan mengarungi hidup, kerikil bahkan cadas kerap hadir di dalamnya. Demikianlah yang saya amati dari kehidupan pernikahan di sekitar saya.

Sebab itu, di sesi diskusi, pasangan pernah menasihati saya yang banyak bertanya mengenai kegelisahan wanita dalam pernikahan, beliau menyampaikan,
“Coba sekarang diubah pandangannya. Kamu dan wanita di luar sana melakukan ketaatan serta berusaha memenuhi hak suami bukan sekadar untuk menyenangkan hatinya. Namun, untuk beribadah kepada Allah. Karena janji dan sikap manusia tak akan pernah bisa diharapkan, beda halnya dengan janji Allah. Jadi, kalau sudah menyadari hal ini, jangan lagi menanyakan nash yang berisi perintah ketaatan, jalani saja lillahi ta’ala. Insyaallah balasannya akan didapat kelak di akhirat.”

Iya, kita harusnya sadar. Meski melalui perjalanan yang sama, tiap-tiap kita harus berusaha mengumpulkan bekal sendiri. Bekal untuk kehidupan hakiki di akhirat nanti.
إن العيش عيش الآخرة
“Sungguh kehidupan hakiki adalah kehidupan di akhirat” (HR. Al Bukhari & Muslim)

Semoga kita bisa taat tanpa tapi. #ChallengemenulisPM

Tinggalkan komentar