You Are Worthy

Ribuan orang sekitar kudengar mengatakan bahwa karakter lebih penting dari sekadar gelar maupun nilai. Lalu berazam akan legawa pada kemampuan akademis diri, pasangan, atau anak-anak kelak. Namun di saat yang sama, manusia-manusia ini kerap merasa paling pilu hidupnya karena gagal pada perkara-perkara serupa. Saya di antaranya tentu saja. Hingga belakangan ini merasa tercerahkan.

Beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke rumah mertua, beliau tersenyum sembari menceritakan bahwa saya mendapatkan hadiah sebaskom jamur barat kesukaan saya dari tetangga beliau. “Bik fulanah yang suka nyari jamur ke sini tadi, Nduk. Ngasih jamur buatmu. Katanya kamu ramah. Oalaah, padahal beliau ini agak susah loh jamurnya dibeli apalagi diminta. Ini tumben banget. Sayang jare ndek smean.” Ucap beliau.

Mendengarnya saya langsung tersenyum bahagia. Sembari mengingat-ingat apa yang pernah saya lakukan pada bik Fulanah ini. Ternyata saya hanya pernah sekali papasan di jalan depan rumah lalu tersenyum menyapa beliau. Saat itu saya serasa mendapat ilham. Ya Allah, kalau anak atau keponakan-keponakanku kelak tak pandai berhitung, tak cakap sains. Namun mereka bisa membuat orang lain bahagia, ramah, dan santun, mereka juga akan menjadi sosok berprestasi bagi saya. Saya menemukan contoh serpihan kecerdasan lebih dari sekadar teori.

Di lain kesempatan saya melihat saudara seumuran yang tengah hamil. Lalu ada seorang yang telah sepuh menasihatinya untuk mengurangi makan seafood saat hamil dengan alasan begini-begitu. Alih-alih menegur pemahaman beliau yang salah secara langsung, dia hanya mengatakan, “Oh nggih, Mbah. Ini udah terlanjur makan tapi. Saya habiskan saja ya. Eman.” Sambil tersenyum. Si mbah berlalu tanpa merasa sakit hati. Saya tahu dia berusaha menjaga hati beliau. Dia juga gak merasa perlu mengedukasi orang sepuh yang sudah susah menerima kemajuan teknologi informasi. Dia merasa hanya perlu menunjukkan sopan santun saja unruk meninggikan hati lawan bicaranya. Toh yang menasihati hanya menginginkan kebaikan kepadanya.

Melihat hal itu hati saya mencelos. Saya merasa dia cerdas sekali, masyaallah. Dalam hati kembali saya katakan, saya akan bangga punya anak yang pandai menyusun kata demikian, pandai menakar keadaan, meski tak pandai hitung-hitungan.

Saya mulai melihat dengan kacamata yang lebih baik. Bahwa milyaran orang di dunia ini benar-benar unik. Chef dengan masakannya adalah orang yang cerdas, saintis dengan penemuannya adalah orang yang cerdas, Tukang bangunan pandai menyusun bata dan material hingga menjadi hunian adalah orang yang cerdas, pembuat lemari adalah orang yang cerdas, Ibu-ibu yang pamdai meninggikan hati adalah orang yang cerdas. Mereka semua cerdas.
Menemukan hal ini, saat ini, mungkin akan menyenangkan putra-putri saya kelak. Namun lebih dulu, sayalah orang yang paling senang sekarang. Karena menemukan bekal cinta untuk menambal rasa bersalah jauh di dalam lubuk hati saya sendiri.

Dan untuk semua orang, you are worthy. #challengemenulisPM #7harimenulisbersamaPM

Tinggalkan komentar